“Itu gede sekali,” tegas Presiden Joko Widodo mengingatkan para kepala daerah yang mengikuti rapat koordinasi virtual pertengahan September lalu, terkait adanya dana nganggur pemerintah daerah di bank mencapai Rp170 triliunan. Presiden Jokowi lantas menegaskan, dirinya selalu memantau penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun daerah. Setiap hari.
Pada Oktober, Kemenkeu justru mencatat terjadi peningkatan dana nganggur mencapai Rp 239 triliun, yang mengendap di rekening kas umum daerah (RKUD). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kesal dana transfer ke daerah mengendap. Di tengah kondisi pandemi seperti saat ini, jelasnya, output pengalokasian anggaran untuk masyarakat sangat ditunggu-tunggu. Menteri Tito bahkan mengungkap, dana tersebut disimpan di bank dalam bentuk deposito untuk dapatkan bunga bank.
“Kita nggak mau dana transfer berhentinya di rekening daerah,” tegas Sri Mulyani saat konferensi pers virtual APBN Kita, Senin (19/10/2020). Sri Mulyani berharap, Pemda dapat mengakselerasi penyerapan dana tersebut untuk pemulihan ekonomi di kuartal ke-4.
Sri Mulyani melanjutkan, meski TKDD sudah ditransfer, pemda tidak serta merta melakukan langkah secepat yang diharapkan. Realisasi belanja pemerintah daerah hingga September mencapai 53,3% atau sekitar Rp575,45 triliun dari target APBD penyesuaian sebesar Rp1.080,71 triliun. Meskipun lebih baik dibanding periode yang sama pada tahun lalu, namun Menkeu menilai masih sangat tidak signifikan. “Sementara pemerintah pusat bisa menaikkan belanjanya mencapai di atas 20 persen, untuk pemerintah daerah ini realisasi belanjanya masih sangat tertahan,” tegasnya.
Melansir Detik.com (4/10/2020), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, sekitar Oktober total saldo yang ada di RKUD masih sekitar Rp 239 triliun yang ditempatkan di perbankan. Suahasil memastikan, mengendapnya anggaran daerah tersebut menyebabkan terganggunya perputaran ekonomi daerah. Dia berharap seluruh pemda agar segera menggelontorkan dana di dua bulan terakhir tahun anggaran 2020 ini. Pencairan dana tersebut akan mampu mengungkit pergerakan ekonomi lokal.
“Terkait dengan saldo kas di perbankan daerah yang ada pada bulan September ini jumlahnya Rp 239,5 triliun. Kalau dibandingkan dengan September 2019, ini lebih rendah. Karena jumlahnya saat itu Rp 245 triliun.” jelas Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti.Meskipun demikian, Astera mengungkapkan komposisi giro meningkat, yang mengindikasikan bahwa daerah sudah mempersiapkan diri untuk melakukan penyaluran.
‘Rahasia’ di Balik Besarnya Dana Nganggur Pemda
Melansir CNN Indonesia, pada awal tahun lalu Sri Mulyani mengeluhkan kinerja pengelolaan keuangan daerah di depan DPD RI. Sri Mulyani mengatakan jumlah dana terparkir tersebut tak sesuai dengan ‘nafsu’ besar pemda dalam meminta dana transfer ke Kementerian Keuangan. “Jadi rajin minta. Tapi setelah dikasih, kemudian hanya dimasukkan saja ke rekening daerah. Tidak digunakan,” katanya. Masalah ini membuat pembangunan daerah tidak berjalan maksimal, sehingga manfaatnya tidak bisa dinikmati masyarakat. Menurutnya, kondisi ini sangat menyedihkan di tengah upaya keras pemerintah mencapai target penerimaan negara, yang sepertiganya ditransfer ke daerah.
DJPK Kemenkeu mengungkapkan, besarnya dana nganggur di rekening kas daerah disebabkan perencanaan anggaran daerah yang buruk. Akibatnya, triliunan dana transfer gagal dimanfaatkan secra maksimal oleh daerah. Selain itu, disebabkan sebagian besar pembayaran dilakukan di kuartal akhir. Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti tidak yakin triliunan dana nganggur di bank dimanfaatkan pemda untuk cari keuntungan bunga. Menurutnya, bunga bank yang didapatkan sangat kecil.
Pengendapan dana tersebut umumnya terjadi di daerah yang memiliki banyak kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Agar endapan dana anganggur tidak terus membengkak setiap tahun, Kemenkeu memberikan sanksi pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU). Selain itu, pemerintah juga akan menunda pemberian DAU hingga pemda mampu merealisasikan dana TKDD yang sudah diberikan sebelumnya.
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menjelaskan, fenomena ini sudah lama berlangsung dan merupakan masalah serius yang harus segera dibenahi pemerintah. Ia menilai, pejabat di daerah belum memiliki kemampuan dalam mengelola uang. Selain itu, faktor mental pejabat daerah juga turut menyuburkan dana nganggur tersebut. Persoalan mental ini mengacu pada ketidakberanian mengambil keputusan karena khawatir bersinggungan dengan tuduhan tindak pidana korupsi. “Tanpa keluarkan uang, mereka bisa mendapatkan bunga. Dari pada dipakai nanti kena,” ujarnya.
Selain kedua sebab tersebut, Yose juga menangarai sanksi yang diterapkan pemerintah tidak tegas sehingga praktik ini tetap berlangsung saban tahun. Untuk itu, menurutnya, kinerja serapan anggaran daerah dapat juga dijadikan salah satu pertimbangan dalam penentuan formula dana transfer.
Ekonom UI Fithra Faisal juga menilai ada ketakutan maladministrasi yang bisa menjerat pemerintah daerah dan berujung pidana. Untuk itu ia mengatakan, masalah ini harus segera diatasi. Jika tidak, dampaknya terhadap perekonomian daerah cukup serius karena intervensi fiskal tidak berjalan.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Abdullah Azwar Anas mengungkap faktor yang membuat belanja daerah belum optimal. Di antaranya,menunggu pencairan berbagai program pembangunan hingga akhir tahun. Karena harus memeriksa aspek teknis, terutama proyek-proyek fisik. Kondisi ini masih wajar dan umum terjadi di hampir seluruh daerah. Menurutnya, yang terpenting adalah penyerapan anggaran maksimal hingga akhir tahun, seusai dengan prioritas dan peruntukan program daerah.
Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan dana nganggur pemerintah daerah. Misalnya, melansir Katadata (23/12/2016), Bappenas dan Kemendagri pada tahun 2016 lalu menandatangani Surat Edaran Bersama (SEB) menindaklanjuti besarnya dana nganggur pemerintah daerah. Triliunan dana daerah yang mengendap di Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut menghambat rencana percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong perekonomian daerah. Surat tersebut berisi petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan RPJMD dengan RPJMN. Karena mempertimbangkan salah satu persoalannya adalah pemerintah daerah masih kesulitan merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai keinginan Presiden Jokowi. SEB tersebut menyangkut enam arah penyelarasan, yaitu penyelarasan isu strategis, tujuan dan sasaran, strategi dan arah kebijakan, program prioritas, kerangka pendanaan dan indikasi lokasi pelaksanaan kegiatan strategis nasional di daerah. Selain itu, Kemenkeu juga melakukan revisi aturan pengelolaan TKDD. Lalu tahun 2017, Kemenkeu menerapkan sanksi pemotongan 5% hingga 50% DAU untuk pemda yang endapkan dananya di bank.
Menteri Tito: Triliunan Dana Nganggur Pemda Berbentuk Deposito
Menjelang akhir Oktober lalu, pernyataan Mendagri Tito Karnavian mengejutkan publik. Tito menyebut, pemerintah provinsi yang realisasi belanjanya minim akibat dananya diendapkan di bank untuk mendapatkan bunga lebih besar.
Berdasarkan catatannya, ada beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk deposito. Dana pemerintah provinsi dalam bentuk deposito mencapai Rp76,78 triliun. Sedangkan total dana kabupaten/kota berbentuk deposito di bank sebesar Rp 167,13 triliun. “Ini disimpan untuk dapat bunganya, tidak beredar di masyarakat,” uangkap Tito dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2020 melalui teleconference, Kamis (22/10/2020) lalu.
“Dalam waktu yang lebih kurang 2 bulan ini dari kami sebagai Kemendagri akan melakukan evaluasi mingguan mana saja daerah-daerah yang belanjanya rendah kita akan dorong. Kalau memang susah untuk didorong ya terpaksa nanti Inspektorat Jenderal Kemendagri untuk saya minta turun mengecek kemana dana ini, kenapa nggak turun, kenapa realisasinya rendah sekali,” pungkasnya.
Mendapati informasi ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan melakukan pendalaman. “KPK akan lebih dahulu menggali data, mengumpulkan info dari Kemendagri tersebut, kemudian mengumpulkan data dan keterangan, baru lebih lanjut KPK akan menentukan sikap apakah melakukan proses penyelidikan atau tidak,” tegas Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, sebagaimana diberitakan oleh JPPN.com, Jumat (3/10/2020).
Ghufron menyebut, praktik menyimpan uang tersebut dapat menjadi tindak pidana, jika para kepala daerah sengaja menempatkan uang tersebut di bank agar bunganya mengalir ke pihak-pihak tertentu. Tapi apabila uang tersebut sengaja disimpan karena tidak bisa digunakan di tengah kondisi pandemi ini, maka tidak ada unsur pidana yang bisa dikenakan.
Sebelumnya, Menteri Tito menyatakan dana yang disimpan di bank tersebut tidak beredar di masyarakat tapi diedarkan oleh bank yang mungkin terafiliasi pengusaha-pengusaha tertentu. Melihat pola tersebut, Tito menganggap, pengusaha besar menjadi kelompok paling diuntungkan dengan simpanan dana tersebut di bank, alih-alih masyarakat yang sangat memubutuhkan di tengah kelesuan ekonomi saat ini akibat pandemi. []