Tantangan pengelolaan keuangan daerah di masa pandemi tidak terbatas pada bagaimana menguatkan ketahanan dan keberlanjutan fiskal, melainkan juga bagaimana daerah mampu beradaptasi dalam meningkatkan kinerja anggaran. Dua tahun pandemi nyatanya belum memberikan pengalaman dan pembelajaran yang cukup bagi pemerintah daerah untuk melakukan adaptasi dalam meningkatkan kinerja anggaran.
Pandemi Covid- berdampak signifikan terhadap penurunan kapasitas dan kinerja fiskal daerah. Alih-alih meningkatkan kinerja dalam pengelolaan dana pembangunan yang semakin terbatas tersebut, tren kinerja serapan anggaran daerah secara rata-rata justru mengalami penurunan di seluruh daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kondisi tersebut diindikasikan oleh tren penurunan kinerja serapan anggaran hingga akhir Desember, khususnya pada kuartal III yang menyebabkan beban ekskusi belanja daerah semakin menumpuk di kuartal terakhir. Akibat situasi ini, anggaran daerah diyakini tidak berfungsi secara efektif dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi daerah yang terimbas Covid-19.
Keterlambatan eksekusi anggaran juga berdampak pada terhambatnya penyediaan layanan publik yang diindikasikan oleh gagalnya penyediaan sarana dan prasarana publik, baik akibat gagal tender maupun yang tidak terselesaikan tepat waktu, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti fasilitas kesehatan dan infrastruktur dasar lain.
Berdasarkan data Kemendagri, per 23 Desember 2021 menyebutkan bahwa realisasi penerimaan daerah 10 Kabupaten/Kota di NTB tahun 2021 mencapai Rp 14,09 triliun, atau sekitar 87,6% dari target. Sementara itu, realisasi pengeluaran daerah 10 Kabupaten/Kota tersebut hanya sekitar 82,6% dari total anggaran sebesar Rp 15,85 triliun. Sehingga diproyeksikan SILPA yang tidak dimanfaatkan tahun anggaran berjalan mencapai Rp 1 triliun. Di tingkat Provinsi, realisasi penerimaan dan pengeluaran daerah Provinsi NTB bahkan lebih kecil, masing-masing hanya sekitar 84,2% dan 79,8% dari total anggaran sebesar Rp 6,38 triliun.
Sekitar Rp 13,14 triliun dari belanja daerah di NTB Tahun 2021 dialokasi untuk membiayai rencana pengadaan barang dan jasa (PBJ) dengan jumlah 85.774 paket. Lebih dari separuhnya (51,1%) merupakan pengadaan melalui penyedia atau sebanyak 43.853 paket, dan sekitar 98,9% dilaksanakan melalui metode Penunjukan Langsung. Penggunaan metode PL dalam PBJ tahun 2021 meningkat cukup tinggi dan merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun.
Temuan Pokok
Temuan 1. Anggaran belanja semakin menumpuk pada kuartal IV 2021
Penumpukan anggaran belanja tahun 2021 secara rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Per November serapan keuangan hanya sekitar 68,3%. Pemerintah daerah hanya memiliki waktu sebulan untuk membelanjakan sekitar 31,7% anggaran belanja daerah, atau setara capaian serapan belanja 6 bulan (semester) pertama.
Temuan 2. Serapan anggaran disebabkan oleh molornya proses pengadaan barang dan jasa (PBJ)
Rencana jumlah paket pengadaan melalui tender seluruh pemda di NTB tahun 2021 sebanyak 2.106 paket. Sebagian besar paket tersebut merupakan paket dengan nilai pagu Rp 200 juta < Rp 2,5 miliar. Berdasarkan data Monev LKPP, proses tender paket proyek hingga akhir tahun di NTB rata-rata sekitar 50%-60% dari rencana paket pengadaan melalui tender. Sehingga diprediksi terdapat banyak paket proyek yang gagal tender hingga akhir tahun. Di sisi lain, tingkat penyelesaian pekerjaan paket proyek yang diserah terimakan juga hanya sebagian (52%) dari proyek yang telah berkontrak, sehingga akan terdapat banyak proyek yang tidak terselesaikan hingga akhir tahun.
Implikasi
Rendahnya serapan anggaran daerah tahun ini berakibat pada tingginya dana ‘tidak terpakai’ sekitar Rp 1,28 triliun. Seluruh nilai SILPA tersebut bersumber dari anggaran belanja yang tidak terserap rata-rata sekitar 7% dari total nominal APBD. Tiga Kabupaten/Kota bahkan tercatat memiliki SILPA di atas 10%, yaitu Kota Mataram, KSB dan Lombok Barat.
Pengendalian serapan anggaran daerah tahun ini diperburuk oleh kinerja OPD serta pengendalian yang lemah. Situasi ini akan berdampak pada tingkat ketercapaian target pembangunan daerah yang telah ditetapkan. Beberapa implikasi yang diakibatkan oleh buruknya kinerja serapan anggaran daerah adalah:
- Anggaran daerah tidak cukup efektif dalam mengungkit perekonomian daerah
Implikasi ini diperkuat oleh Laporan Bank Indonesia pada November 2021 yang mengungkapkan bahwa terjadi perlambatan kinerja ekonomi daerah dari 4,76% pada triwulan II 2021 menjadi 2,42% pada triwulan III 2021. Hingga akhir tahun 2021, ekonomi NTB diprediksi akan tumbuh pada kisaran 2,68% – 3,48% (yoy). Sementara itu Pemerintah Provinsi NTB menargetkan pertumbuhan ekonomi daerah tanpa tambang tahun 2021 berkisar antara 2,75 % – 3,30%. Hingga kuartal III 2021, berdasarkan rilis BPS, ekonomi NTB tanpa tambang tumbuh 3,07% yoy, dan hanya tumbuh 0,61% q to q.
- Belanja daerah yang dilaksanakan pada akhir tahun anggaran berdampak pada rendahnya efektivitas belanja dalam rangka pelaksanaan layanan publik.
Hasil keluaran, dampak dan manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan anggaran belanja daerah tidak dapat dinikmati secara cepat, tepat dan berkualitas oleh masyarakat.
- Potensi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran jelang akhir tahun
Eksekusi anggaran pada akhir tahun meningkatkan risiko penyelewengan anggaran, salah satunya dengan modus pelaksanaan kegiatan fiktif untuk mempercepat dan meningkatkan serapan anggaran.
Rekomendasi
Untuk meningkatkan kinerja anggaran daerah pada tahun 2022, pemerintah daerah perlu melakukan Langkah-langkah sebagai berikut:
- Mempercepat persiapan administrasi dan sumber daya dalam perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (PBJ);
- Mempercepat publikasi seluruh Rencana Umum Pengadaan (RUP) Pemerintah Daerah dan melaksanakan proses seleksi secara lebih terbuka serta transparan;
- Melakukan seleksi penyedia barang dan jasa secara lebih ketat untuk mendapatkan penyedia yang kredibel, berintegritas dan tidak termasuk dalam daftar hitam (black list) LKPP;
- Optimalisasi monitoring, evaluasi dan pengendalian serapan anggaran oleh pimpinan OPD dan Kepala Daerah; dan
- Menyediakan ruang dan saluran bagi masyarakat untuk terlibat mengawasi pelaksanaan anggaran di daerah.