Oleh: Ramli[*]
Abstrak
Pemerintah acapkali memobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat seperti itu hanyalah partisipasi semu karena tidak mencerminkan kesadaran dan kehendak bebas masyarakat. Partisipasi murni masyarakat harus diusahakan dengan upaya-upaya sistematis, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Pandan Sari, Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pemerintah desa dan masyarakat secara bersama-sama terlibat dalam setiap tahap pembangunan, baik tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Kesadaran dan tanggung jawab masyarakat bertumbuh-kembang untuk menyelesaikan persoalan di tingkat RT, dusun, hingga desa. Pemerintah desa pun dirasakan kehadirannya oleh masyarakat. Namun dalam prakteknya, perencanaan top-down lebih dominan dalam rencana kerja pemerintah.
Kesuksesan pembangunan dipengaruhi oleh sistem perencanaan yang baik. Nyatanya, pembangunan di Indonesia belum menampakkan hasil yang dapat dirasakan langsung dan signifikan oleh masyarakat dalam pemenuhan hak-hak dasarnya. Masyarakat belum merasakan kehadiran pemerintah (Negara) atas persoalan yang membelit kehidupannya.
Padahal masyarakat dan lingkungannya memiliki potensi yang besar untuk ikut serta menyukseskan pembangunan. Pemerintah cenderung melakukan mobilisasi, bukannya menumbuhkan kesadaran (public awareness), sehingga masyarakat secara sukarela berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan.
Dalam keadaan terpasung sejak lama, akibat struktur social yang cenderung menindas, suara masyarakat dari arus bawah cenderung tertelan dan menguap. Namun perkembangan demokrasi belakangan ini, pun berdampak terhadap munculnya suara arus bawah meskipun samar-samar. Ditunjang dengan makin dinamisnya kerja-kerja kelompok menengah, seperti NGO’s, pers, dan kelompok intelektual akan mempermudah kerja-kerja pemberdayaan dan advokasi. Prasyarat-prasayarat untuk menuju ke arah pendalaman makna bernegara sudah terbentuk, tinggal menunggu kemauan (political will) pemerintah saja.
Definisi Perencanaan, Pembangunan, dan Partisipasi
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 1, huruf (1) mendefiniskan perencanaan sebagaisuatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Adapun definisi pembangunan nasional adalah upaya yang dilakukan oleh segenap elemen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara[1]. Tujuan bernegara FORMASI telah termaktub secara ekplisit dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Sedangkan partisipasi adalah sebuah proses yang mensyaratkan adanya kontribusi, keterlibatan, kesadaran, tanggung jawab, proses aktif, inisiatif, dan otonomi dari masyarakat dalam keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 35 Tahun 2004 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik, partisipasi adalah bentuk keterlibatan masyarakat, baik secara langsung maupun tdak langsung, dilakukan secara lisan maupun tertulis, menyampaikan pikiran dan pendapatnya dalam proses pengambilan Kebijakan Publik.
Dengan demikian, proses pembangunan nasional diselenggarakan dalam sebuah system perencanaan secara terpadu dalam satu kesatuan perencanaan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh penyelenggara Negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah[2], bahkan hingga tingkat pemerintahan terkecil, yaitu desa; yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia[3].
Dalam prakteknya, desa sepanjang sejarah Indonesia berada pada posisi sebagai tangan kekuasaan dan masyarakat desa merasakan dampak kebijakan pembangunan secara langsung. System perencanaan top-down hanya menjadikan desa sebagai subordinasi semata. Desa tidak memiliki otonomi dalam merencanakan dan mengambil keputusan sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat.
Mendorong Pembangunan Partisipatif dari Bawah
Paska Orde Baru, ruang partisipasi masyarakat dapat dikatakan semakin luas. Berbagai kalangan secara terus-menerus mendorong lahirnya regulasi dan deregulasi untuk memperkuat peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik dan pembangunan. Hasilnya, aspirasi masyarakat dari tingkat bawah sangat menentukan berbagai keputusan di tingkat yang lebih tinggi, kecuali keputusan peradilan. Meskipun dalam prakteknya, kelompok elit masih sering mengambil bagian lebih besar. Namun jika dibandingkan dengan masa-masa pra reformasi, perkembangannya cukup menggembirakan. System perencanaan yang pada mulanya menganut pola top-downberubah pola menjadi bottom-up dengan tingkat partisipasi masyarakat sebagai syarat utama.
Pembangunan partisipatif adalah suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya di wilayah Indonesia[4].
Jika diurutkan, jenjang perencanaan pola bottom-up dari tingkat terbawah hingga paling tinggi adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Jenjang perencanaan bottom-up
Mengacu pada gambar di samping, maka seharusnya penjaringan aspirasi akan mengikuti jenjang dari tingkat paling bawah, yaitu dari tingkat RT/RW hingga sampai di tingkat pemerintah tertinggi.
1. Praktek Perencanaan Partisipatif di Desa Pandan Sari, Sruweng
Desa Pandan Sari secara administrative merupakan salah satu desa di Kecamatan Sruweng, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Luas wilayah desa ini seFORMASIr 524 ha dengan bentang wilayah berbukit, dan terdiri dari 8 dusun. Jarak desa ini ke ibu kota kecamatan seFORMASIr 7 km. Jumlah penduduk desa ini sebanyak 6.321 jiwa atau 1.469 KK, yang terdiri dari 3.108 laki-laki dan 3.213 perempuan. SeFORMASIr 53,5% dari total KK merupakan Rumah Tangga Miskin (RTM).
Pada tahun 2011, Desa Pandan Sari mendapat penghargaan SIKOMPAK 2011 kategori Perencanaan Partisipatif. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang dihasilkan dari proses perencanaan partisipatif tersebut terpilih sebagai RPJMDes terbaik. Bagaimanakan alur perencanaan partisipatif yang diterapkan di Desa Pandan Sari?
Sebelum tahun 2010, praktek perencanaan pembangunan desa atau yang lazim dikenal dengan singkatan Musrenbangdes (Musyawarah Perencanan dan Pembangunan Desa) di Pandan Sari tidak jauh berbeda dengan praktek yang berlangsung di desa-desa lainnya. Proses perencanaan hanya melibatkan elit-elit di desa, seperti pemerintah desa, kepala dusun, dan ketua RT/RW. Perwakilan masyarakat, seperti dari kelompok rumah tangga miskin, kelompok perempuan, anak-anak, dan kelompok masyarakat lainnya tidak dilibatkan sama sekali. Meskipun menghasilkan dokumen RPJMDes sebagai acuan pembangunan desa, namun tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat desa[5].
Bermula pada tahun 2010, perencanaan partisipatif mulai dipraktekkan dengan fasilitasi aktivis Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen. Untuk pelaksanaan proses musrenbang tersebut, Pokja sebagai pelaksana, menggunakan buku P2DP (Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa yang Partisipatif) sebagai pedoman.
Sebelum pelaksanaan musrenbang dimulai, pemerintah desa membentuk kelompok kerja (Pokja) sebagai pelaksana hingga kegiatan tersebut selesai. Kepala Desa Pandan Sari saat itu menetapkan 11 orang sebagai Pokja. Jumlah anggota Pokja selalu ganjil. Pokja yang telah terbentuk selanjutnya akan diikutkan dalam kegiatan penguatan kapasitas. Ini dimaksudkan agar Pokja dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dan maksimal selama proses musrenbang berlangsung, yang pda ujungnya akan berdampak pada kualitas musrenbangdes.
Pokja bertugas untuk melaksanakan kegiatan sebagai berikut[6]:
1. Menyusun jadwal kegiatan;
2. Menyusun tata tertib musrenbang;
3. Mengidentifikasi calon peserta musrenbang
4. Sosialisasi pelaksanaan musrenbang;
5. Mengundang peserta dan nara sumber musrenbang;
6. Memandu dan menfasilitasi musyawarah dusun (musdus);
7. Memandu dan memfasilitasi lokakarya desa;
8. Merumuskan hasil musrenbang dalam Berita Acara; dan
9. Mendokumentasi seluruh musrenbang dari persiapan sampai dengan paska musrenbang.
1.1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) RPJMDes
Berikut tahapan musrenbangdes RPJMDes yang difasilitasi oleh Pokja:
(Sumber: Panduan Penyusunan RPJMDesa, Formasi-Kebumen)
Gambar 2. Tahapan Musrenbangdes RPJMDes/RKPDes
1.1.1 Sosialisasi
Kegiatan sosialisasi adalah tahapan persiapan yang sangat penting dilakukan. Sosialisasi tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan informasi pelaksanaan musrenbangdes, namun lebih dari itu; sosialisasi diharapkan juga menumbuhkan pemahaman dan kesadaran warga arti penting musrenbangdes atas kualitas hidupnya. Sosialisai kegiatan dilakukan oleh Pokja dengan mengirim surat kepada kepala dusun dan ketua RT.
1.1.2 Musyawarah Dusun
Musyawarah dusun (musdus) adalah kesempatan pertama bagi warga untuk terlibat menyampaikan aspirasinya. Musdus dilaksanakan di Pandan Sari secara swadaya tanpa bantuan pembiayan dari anggaran desa. Pelaksanakannya di bawah tanggung jawab kepala dusun dan difasilitasi langsung oleh tim Pokja. Musdus pertama di Pandan Sari dilaksanakan di Dusun Kuripan. Peserta musdus adalah perwakilan RT/RW, seperti ketua RT, RTM, kelompok perempuan, kelompok ekonomi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kelompok pemuda. Peserta Musdus akan diundang oleh Pokja.
Bahkan pra Musdus, setiap lingkungan atau RT melakukan pertemuan-pertemuan, memanfaatkan pertemuan rutin warga, semisal kegiatan Yasinan malam Jum’at untuk warga laki-laki dan kegiatan pengajian sore FORMASIs untuk warga perempuan[7]. Kegiatan ini untuk membahas usulan-usulan yang akan disampaikan pada forum Musdus.
Tujuan pelaksanaan musdus adalah untuk menjaring masalah di tingkat dusun, baik menyangkut infrastruktur, ekonomi, maupun social budaya. Kedua, menentukan delegasi dusun untuk mengikuti kegiatan lokakarya desa maupun musrenbang desa. Ada tiga tools yang digunakan untuk penggalian masalah, yaitu sketsa dusun, kalender musim, dan diagram kelembagaan. Berdasarkan ketiga tools tersebut, peserta musdus menyampaikan masalah secara detail, penyebab, dan potensi.
Sketsa dusun berguna untuk mempermudah identifikasi masalah dan lokasi masalah di masing-masing RT/RW. Sketsa dusun dibuat bersama-sama oleh peserta melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) menentukan symbol legenda sketsa dusun; 2) menentukan batas dusun, diwakili oleh kepala dusun; 3) menentukan batas masing-masing RT, diwakili oleh masing-masing ketua RT; 4) Wawancara sketsa dusun, dengan beberapa pertanyaan pokok terkait 10 hak dasar warga Negara, misalnya lokasi rumah tak layak huni, pemiliknya, jumlahnya, dan seterusnya. Hasil wawancara ini kemudian dituangkan ke dalam form masalah.
Contoh Form Masalah
No.
|
Masalah
|
Penyebab
|
Potensi
|
1.
|
|||
2.
|
|||
dst..
|
Sedangkan kelender musim digunakan untuk mempermudah penentuan masalah berdasarkan waktu atau musim, misalnya kekurangan air bersih pada musim kemarau atau seFORMASIr bulan Juni-Oktober. Beberapa tahapan menggali masalah dengan kalender musim, yaitu: 1) membuat form kalender musim; 2) peserta mengidentifikasi musim di daerahnya; 3) menentukan rentang waktu dalam bulan berlangsungnya musim-musim tersebut; 4) wawancara kalender musim dengan menyanyakan permasalahan apa saja yang terjadi pada bulan-bulan tersebut; 5) menentukan tingkat keparahan masalah, dengan memberikan tanda atau symbol. Masalah yang teridentifikasi selanjutnya dituangkan dalam Form Masalah (F2).
Contoh Kalender Musim
No
|
Musim
Masalah
|
Kemarau
|
Pancaroba
|
Hujan
|
|||||||||
Mei
|
Jun
|
Jul
|
Agu
|
Sep
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
||
1.
|
|||||||||||||
dst.
|
Adapun diagram kelembagaan dipergunakan untuk memahami dan menilai relasi dan pengaruh lembaga-lembaga formal maupun informal yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tahapan-tahapan yang dilakukan warga adalah: 1) menentukan lembaga-lembaga yang ada di dusun; 2) peserta musdus menentukan tingkat pengaruh dan relasi masing-masing lembaga dengan masyarakat menggunakan karton berukuran variatif. Lembaga yang berpengaruh besar akan ditulis pada karton bundar berukuran besar, sebaliknya, lembaga dengan pengaruh kecil akan ditulis pada karton berukuran kecil; 3) menempel karton lembaga pada titik-titik yang disepakati peserta musdus sesuai dengan jarak relasi masing-masing lembaga dengan masyarakat; 4) menuangkan masalah kelembagaan ini ke dalam form masalah (F3) beserta penyebab dan potensi yang ada untuk menyelesaikan masalah yang teridentifikasi.
Pemerintah Desa
|
Kelompok Tani
|
Contoh Diagram Kelembagaan
Kegiatan musdus terakhir adalah penentuan delegasi dusun. Delegasi dusun bertugas untuk mengawali aspirasi dusun sampai hingga tahapan selanjutnya. Delegasi dusun dipilih sebanyak 7 orang, 3 diantaranya harus mewakili kelompok perempuan. Criteria-kriteria calon delegasi ditentukan secara partisipatif oleh peserta musdus. Diantara yang masuk sebagai perwakilan dusun adalah kepala dusun, ketua RT, dan tokoh masyarakat.
Setelah penentuan delegasi dituntaskan, delegasi terpilih menandatangani berita acara pelaksanaan musdus bersama perwakilan Pokja.
2 Lokakarya Desa
Setiap aspirasi peserta ditampung oleh fasilitator, sebanyak apapun persoalan yang ada di dusun. Dengan demikian, peserta merasa dihargai dan merasa bertanggung jawab dengan persoalan yang ada di lingkungannya masing-masing. Semua masalah tersebut kemudian didokumentasikan oleh Pokja untuk dibawa ke tahapan selanjutnya, yaitu Lokakarya Desa (Lokdes).
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan selama lokakarya desa berlangsung, yaitu pengelompokan masalah, penulisan sejarah dan legenda desa, penentuan visi-misi desa, penentuan skala prioritas, penentuan tindakan alternative atas setiap persoalan yang ada, dan yang terakhir penentuan tindakan yang layak.
Pengelompokan masalah adalah pemilahan masalah-masalah yang dikumpulkan dari hasil musdus ke dalam 3 kelompok bidang, yaitu 1) Pengembangan wilayah (sektor: infrastruktur, irigasi dan sumber daya air, perumahan rakyat); 2) Ekonomi (sektor: Pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dll); dan 3) Sosial dan budaya (sector: kemiskinan, pengangguran, pemerintahan, dll) . Format form kelompok masalah hampir sama dengan format form masalah pada musdus.
Tahap kedua dalam lokdes adalah penulisan sejarah dan legenda desa. Sejarah desa dapat dibagi berdasarkan periodesasi mundur kepemimpinan kepala desa. Untuk mengumpulkan bahan penulisan sejarah desa, fasilitator menyiapkan form pokok-pokok sejarah desa yang dibagi dalam dua kolom. Masing-mmasing kolom diisi dengan kejadian baik dan kejadian buruk yang terjadi selama periode kepemimpinan kepala daerah yang sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan legenda desa menyangkut asal-usul desa, mitos, dan sebagainya. Untuk mendapatkan bahan-bahan sejarah dan legenda desa, fasilitator mewawancarai peserta lokdes atau pun mendatangi orang yang dianggap mengetahuinya. Berdasarkan bahan-bahan yang terkumpul, fasilitator menyusun draft narasi sejarah dan legenda desa. Draft tersebut disampaikan kepada peserta lokdes untuk mendapat tanggapan dan kesepakatan.
Contoh format pengumpulan bahan sejarah desa
No.
|
Periode waktu
|
Kejadian baik
|
Kejadian buruk
|
1.
|
2013-2007
|
||
2.
|
2006-2000
|
||
Dst
|
Dst
|
Kegiatan selanjutnya, merumuskan visi-misi desa. Merumuskan visi-misi desa didasarkan atas permasalahan-permasalah yang berlangsung selama ini, baik berdasarkan penggalian masalah maupun sejarah dan legenda desa. Secara teknis, peserta menentukan kata kunci visi desa dengan menuliskannya di metaplan. Fasilitator kemudian bersana peserta menyusun kata-kata kunci yang terkumpul menjadi kalimat visi yang mencerminkan mimpi atau cita-cita bersama yang ingin dicapai 5 tahun ke depan. Visi desa Pandan Sari yang dirusmuskan secara partisipatif adalah “Mewujudkan Desa Pertanian dan Home Industri yang Makmur dan Aman”. Sedangkan misinya adalah: 1) Pembangunan Pertanian lahan kering; 2) Pembangunan infrastruktur perhubungan; 3) Pemberdayaan ekonomi melalui pembentukan dan pembinaan kelompok Home Industri yang mandiri; 4) Mewujudkan keamanan dan ketertiban desa yang kondusif.
Kegiatan keempat dalam lokdes adalah menentukan skala prioritas melalui scoring atau pemeringkatan masalah berdasarkan criteria-kriteria tertentu yang disepakati peserta lokdes. Pembuatan skala prioritas ini bertujuan untuk mendapatkan prioritas masalah yang harus segera dipecahkan.
Setelah semua masalah dirangking berdasarkan kriteria yang disepakati bersama, tahap selanjutnya adalah menyusun alternatif tindakan yang layak. Kegiatan ini mempunyai tujuaan untuk mendapatkan alternatif tindakan pemecahan masalah dengan memperhatikan akar penyebab masalah dan potensi yang ada.
Kegiatan terakhir dalam lokdes adalah menetapkan tindakan yang layak. Pada tahapan ini dipilih dan tindakan yang layak untuk memecahkan masalah yang ada. Dalam tahapan ini juga dipisahkan mana pembangunan skala Desa dan pembangunan skala Kabupaten. Pembangunan skala desa akan dibiayai menggunakan APBDes, sedangkan usulan pembangunan skala kabupaten akan dibawa ke tingkat kecamatan (musrenbang kecamatan).
1.1.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes)
Tahapan selanjutnya adalah musrenbangdes. Ada dua jenis musrenbangdes didasarkan atas dokumen yang dihasilkan, yaitu Musrenbangdes RPJMDes dan RKPDes. Pada setiap kegiatan musrenbangdes, semua dusun mengirimkan delegasinya. Sedangkan nara sumber yang dihadirkan Pokja pada musrenbang terdiri dari pemerintah desa, anggota BPD, anggota DPRD, perwakilan kecamatan, UPT Dinas-dinas terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi dan UMKM, dan Dinas Sumber Daya Air dan ESDM.
Berdasar hasil lokakarya Desa selanjutnya dimusyawarahkan kembali dalam forum musyawarah pembangunan Desa. Hasil dari musyawarah Rencana Pembangunan Desa tentang RPJM Desa ini nantinya akan menjadi draf rancangan Peraturan Desa tentang RPJM Desa, akan FORMASI serahkan kepada BPD setelah melalui pembahasan BPD dan mendapatkan persetujuan dari BPD maka akan FORMASI tetapkan menjadi Peraturan Desa.
Peraturan Desa tentang RPJM Desa inilah yang merupakan dokumen perencanaan pembangunan desa dalam lingkup skala desa yang berkesinambungan dalam waktu 5 (lima) tahun dengan menyelaraskan kebijakan pembangunan Kecamatan maupun Kabupaten dan menjadi dasaratau pedoman bagi Pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam menjalankan kegiatan Pembangunan di desa dalam waktu 5 (lima) tahunserta menjadi dasar masukanbagi Pemerintahan desa dalam penyusunan APB Desa. RPJMDes tersusun atas program kerja tahunan atau RKPDes selama 5 tahun.
1.2. Musrenbang RKPDes
Musrenbangdes RKPDes pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan musrenbangdes RPJMDes. Perbedaannya, musdus tidak dilaksanakan dan tahapan kegiatan lokdes terdapat sedikit perbedaan.
Lokakarya RKP-Desa adalah forum musyawarah antar pelaku pembangunan di tingkat Desa untuk membahas perencanaan tahunan desa. Ada beberapa tujuan lokakarya RKPDes adalah: 1) Mengevaluasi pembangunan tahun sebelumnya; 2) Mengidentifikasi kegiatan dari RPJM Desa prioritas tahun bersangkutan;3) Mengidentifikasi kegiatan dari kebijakan supra Desa; 4) Mengidentifikasi kegiatan darurat; 5) Menyusun Kebijakan Keuangan Desa; 6) Menyusun Desain dan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB); 7) Menyusun draf matrik kegiatan RKP-Desa; 8) Menyusun naskah RKP-Desa.
Gambar alur pelaksanaan lokdes RKPDes (Sumber: Pedoman Penyusunan RKPDes, Formasi-Kebumen)
2. Musyawarah Perencanaan Pembangunan RKPD Kabupaten di Kecamatan (Musrenbangcam)
Musayawarah perencanaan pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten di Kecamatan atau yang dikenal dengan Musrenbangcam adalah forum musyawarah stakeholders tingkat kecamatan untuk mendapat masukan prioritas kegiatan dari Desa/Kelurahan serta menyepakati kegiatan lintas Desa/Kelurahan di wilayah kecamatan tersebut, sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah[8].
Alur kegiatan Musrenbang kecamatan tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Loka karya RPJMDes. Alur pelaksanaannya, yaitu: 1) pemaparan oleh nara sumber; 2) pembahasan tata tertib musyawarah; 3) pembahasan usulan oleh kelompok per bidang; 4) penentuan skala prioritas dengan scoring; 5) menentukan usulan pembangunan skala kewilayahan kecamatan dan skala kabupaten, baik yang dibiayai APBD maupun PNPM Mandiri Pedesaan-PNPM Integrasi; 6) pemilihan delegasi kecamatan; 7) Penandatanganan Berita Acara dan membahas Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL).
3. Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah
Kegiatan forum SKPD pada umumnya dilaksanakan pada pagi hari dan berakhir seFORMASIr pukul 2 siang. Kegiatan ini dihadiri oleh delegasi kecamatan, perwakilan SKPD terkait, LSM, dan unsur organisasi profesi.
Tujuan pelaksanaan forum SKPD adalah untuk[9]:
1. Mensinkronkan prioritas kegiatan pembangunan dari berbagai kegiatan kecamatan dengan rancangan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD);
2. Menetapkan prioritas kegiatan yang akan dimuat dalam rencana kerja SKPD;
3. Menyeseuaikan prioritas Rencana Kerja SKPD dengan plafon/pagu dana SKPD yang termuat dalam prioritas pembangunan daerah (RKPD);
4. Mengidentifikasi keefektifan berbagai regulasi yang berkaitan dengan fungsi SKPD terutama untuk mendukung terlaksananya Rencana Kerja SKPD.
Namun pelaksanaan di lapangan tidaklah seperti yang diharapkan. Forum SKPD didominasi oleh pemaparan dari SKPD pelaksana. Bahkan Rencana Kerja SKPD, berdasarkan hasil tracking FORMASI memperlihatkan bahwa jumlah usulan masyarakat berkurang cukup signifikan.
Forum SKPD adalah titik kritis tersingkirnya usulan masyarakat oleh program SKPD. SKPD menyusun program sendiri berdasarkan prioritas di dalam Recana Strategis SKPD, yang merupakan turunan RPJMD Kabupaten. Meskipun RPJMD diakui penyusunannya dilakukan secara partisipatif, namun sisi teknokratik dan politis sangat dikedepankan. Begitupun dengan Renstra SKPD, yang penyusunannya tidak melibatkan unsure masyarakat. Maka, anggapan Forum SKPD hanyalah formalitas sedikit tidak dapat dipahami.
4. Sejarah FORMASI Kebumen dalam mengadvokasi dan mendampingi desa[10]
Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) Kebumen memiliki sejarah perjuangan advokasi yang cukup panjang dan penuh liku di Kabupaten Kebumen, bahkan hingga luar Kebumen. Motto FORMASI adalah “Membangun Negara dari Desa”. Bagi FORMASI, pendampingan di akar rumput dan advokasi di tingkat atas adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Periode 2005-2007 adalah masa-masa pendampingan. Tahun-tahun ini juga, oleh aktivis FORMASI disebut tahun yang memprihatinkan. Karena pada tahun-tahun tersebut, mereka mendapat tantangan yang cukup berat. Salah satunya, pelaksanaan Seminar Anti-Korupsi dibubarkan secara paksa oleh pendukung salah satu partai. Tahun ini juga, FORMASI mengalami pemutusan kontrak kerja sama dengan pemerintah daerah dalam melakukan penguatan kapasitas desa. Dampaknya tidak hanya dirasakan FORMASI, bahkan Kabid Pemberdayaan masyarakat Kabupaten Kebumen dimutasi menjadi camat oleh pemerintah daerah.
Dalam kontrak kerja sama itu, FORMASI mendampingi 3 kecamatan. Meskipun tanpa kepastian dan kejelasan, pendampingan tidak berhenti di tengah jalan. Sebagai buah dari perjuangan itu kemudian, ADD untuk desa mendapat pijakan hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah tentang ADD, di saat Negara pun belum menjamin kepastian alokasi untuk desa.
ADD itu sejarah perebutan. Sejarah advokasi untuk mendapatkan ADD itu dimulai sejak 2002 dan tercapai 2004. Pada tahun 2004 itu, Perda tentang ADD diterbitkan sebagai landasan hukum dan pemaksa bagi pemerintah untuk memenuhi hak desa.
Berikut timeline perjalanan sekaligus memperjelas mimpi-mimpi FORMASI ke depan hingga 2020 untuk membangun kemandirian dan kedaulatan desa.
Tahun 1999-2000. Pada periode ini adalah tahun-tahun pengorganisasian Formasi dan juga pengorganisasian masyarakat desa.
Tahun 2003-2004. Periode ini adalah periode peletakan dasar-dasar organisasi. Sepanjang periode ini, FORMASI memiliki dua program, yaitu pembasisan di bawah dan kerja di atas. Di bawah, FORMASI kompori masyarakat desa. Sedangkan di tingkat atas atau kabupaten FORMASI dorong lahirnya landasan hukum, seperti Perda 53 tentang Partisipasi Masyarakat, Perda 22 tentang Kewenangan Desa, Perda 3 tentang ADD. Isinya 10% dari APBD. PP 72 hanya mengatur 10% dari DAU dan dikurangi.
Periode 2005-2007. Pada periode ini yang FORMASI lakukan adalah penguatan kapasitas dasar dengan program PKMD (Penguatan Kapasitas Masyarakat Desa). Sebelum itu, APBDes dan RPJMDes adanya di Kecamatan. Kecamatan-lah yang membikin RPJMDes dan APBDes. Lalu di atas, FORMASI dorong implementasi pelaksanaan Perda ADD. Namun kabupaten masih keberatan untuk mengimplementasikan Perda tersebut. Namun pemerintah kabupaten waktu itu memberikan dana untuk desa, bentuknya adalah DKPM.
Untuk penguatan kapasitas masyarakat desa itu, modal FORMASI ke desa untuk menyusun 4 dokumen hanya beberapa lembar kertas plano, satu rim kertas polio, dan spidol. Meskipun demikian, FORMASI berhasil mendorong pemerintah desa menyelesaikan 4 dokumen tersebut.
Dari sekian desa itu, ada yang berhasil ada yang tidak. Tapi ada keyakinan bersama bahwa desa harus punya itu. Dan tahun 2005 semua desa sudah ada RPJMDes meskipun dengan kualitas berbeda-beda. Kebanyakan programnya fisik.
Tahun 2007, FORMASI bekerja sama dengan Ford. Programnya adalah program Piloting untuk 10 desa. FORMASI ambil desa di ujung barat, timur, utara, dan selatan. meskipun di 10 desa, namun FORMASI juga memberikan dampak positif terhadap desa-desa seFORMASIr, sehingga harapan FORMASI, tahun 2010-2015, program FORMASI focus pada pemantapan. Selain itu, piloting perbaikan kualitas Musrenbangcam. Tahun 2007 dan 2008 ini juga sudah mulai penentuan kouta kecamatan dan perankingan prioritas. Selain itu, FORMASI mendorong integrasi PNPM.
Tahun 2009, FORMASI bekerja sama dengan NGO, Pemda, PNPM, dan Plan untuk menerbitkan buku panduan perencanaan (P2DP) dengan bahan pengalaman di 10 desa piloting tersebut. Dengan buku P2DP itu, FORMASI teruskan penguatan kapasitas desa dengan pendanaan penerbitan buku dari PNPM. Lalu di tingkat kabupaten mendorong diturunkannya Surat Edaran (SE).
Periode 2010-2012. RPJMDes sudah mulai terukur. Di tingkat kabupaten ada Forum MDGs yang dinisiasi Formasi, beranggotakan: anggota DPRD, Bappeda, PNPM. Forum menyepakati membikin Perda percepatan pemberantasan kemiskinan, Perda pendidikan, Perda Perlindungan anak dan perempuan, revisi Perda 53, Perda SPKD. Ada dua pendekatan: mendorong regulasi terlebih dahulu, baru inisiasi dan inisiasi di lapangan dulu, baru mendorong regulasinya.
Masih ada sepuluh tahun lagi hingga desa menjadi mandiri. Sampai saat ini masih pemantapan tata kelola pemerintahan desa.
Tahun 2015-20120, FORMASI akan membangun ekonomi pedesaan. Kenapa harus mandiri? Agar tidak tersubordinasi. Saat ini desa begitu bergantung. Masyarakat desa sekarang ini lebih percaya pada program dibandingkan system. Kenapa bisa terjadi? Karena dari dulu desa tidak pernah dibikin berdaulat. Dengan kedaulatan desa, siapapun yang masuk desa harus mengikuti RPJMDes.
RPJMDes bukan sekedar dokumen, tapi dokumen membangun kesadaran masyarakat dan pemerintah desa. Jika RPJMDes sudah dibikin tapi kesadaran tidak tumbuh, berarti pendampingan gagal. Lalu yang kedua, membangun consensus atau komitmen bersama. ketiga, belajar membangun konsistensi. Ini ruh pembuatan RPJMDes.
Kesimpulan
Perencanaan pembangunan partisipasi yang berakar dari bawah adalah jalan yang tepat untuk memastikan persoalan dan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Pola ini sudah dipraktekkan oleh pemerintah desa Pandan Sari. Pemerintah pandan Sari dinilai berhasil dan masyarakat merasa senang karena dilibatkan. Masyarakat tidak hanya terlibat dalam perencanaan, tapi juga dalam pelaksanaan di lapangan secara swadaya dan sukarela. Tahapan perencanaan dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis serta partisipatif. Dengan demikian, hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, baik keluarga miskin, anak-anak, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat lainnya. Namun, hasil perencanaan bottom-up dari tingkat desa ke tingkat yang lebih tinggi mendapat tantangan yang serius. Sebab, program-program SKPD yang bersifat top-down lebih banyak terakomodir dalam Rencana Kerja SKPD; sebagai bahan penyusunan RKPD Kabupaten. Oleh karena itu, kekuatan masyarakat sipil dan media massa sangat penting untuk melakukan control terhadap kebijakan public.
[1]Pasal 1 angka (2) UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[2]Pasal 1 angka (3) UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[3]Pasal 1 angka (5) UU Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[4]Pasal 1 angka (9) Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
[5]Wawancara dengan Minu, Kaur Pembangunan 2008 s.d. sekarang, anggota Kelompok Kerja Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Pokja-Musrenbangdes).
[7]Wawancara dengan Samid, Ketua RT 2/RT 3 Dusun Krenceng, Desa Pandan Sari, pada tanggal 3 Maret 2013.
[8]Surat Edaran Bupati Kebumen No. 500/1791 tentan Petunjuk Teknis Musrenbang Desa/Kelurahan tahun 2012, hal. 2.
[9]Rencana Kerja Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kebumen Tahun 2014, 25 Februari 2013, hal. 5.
[10]Diskusi dengan Yusuf Murtiono dan Mustika Aji, aktivis sekaligus pendiri FORMASI, 17-18 Februari 2013.
[*] Delegasi FITRA NTB pada kegiatan magang Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Genderdan Pro-Poor, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transpransi Anggaran (Seknas FITRA)-Forum Masyarakat Sipil (FORMASI), Jakarta-Kebumen, 12 Februari-30 Maret 2013.
SJBKJADBKH