Pembahasan RAPBD NTB Tahun 2020 dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Dua minggu. Pembahasan “kilat” ini berakibat pada pengabaian prinsip-prinsip penyusunan APBD, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 33 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2020, yaitu tepat waktu, transparan, partisipatif, dan tertib. Jelas di mata publik, DPRD NTB periode 2014-2019 mengejar target untuk bisa membahas APBD 2020 sebelum demisioner, pun Pemprov NTB. Kedua pihak ini saling diuntungkan secara politik pada situasi ini. Namun dengan mengorbankan hak-hak masyarakat luas.
Selama proses pembahasan, masyarakat NTB tidak mendapatkan akses terhadap informasi rancangan APBD, termasuk dokumen KUA-PPAS. Sehingga prosesnya minus partisipasi masyarakat. Terkait ini, masyarakat telah mengajukan keberatan atas buruknya layanan informasi publik kepada Gubernur NTB, namun tidak mendapat tanggapan hingga masa pembahasan usai.
Pembahasan dalam waktu singkat berpengaruh terhadap kualitas output dan hasil pembahasan RAPBD 2020. Pun rawan dengan munculnya perubahan nominal anggaran, baik disengaja atau tidak disengaja. Faktanya, data-data dalam Nota Keuangan yang disampaikan Gubernur NTB ditemukan tidak sinkron dengan data dalam KUA-PPAS yang telah disepakati. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan angka Belanja Langsung di PPAS Rp2,212 triliun lebih sementara di Nota Keuangan dan RAPBD Rp2,243 triliun lebih. Kemudian Belanja Tidak Langsung di KUA-PPAS itu Rp3,474 triliun lebih, tapi berubah menjadi Rp3,443 triliun lebih. Di samping itu, banyak ditemukan rencana kebijakan anggaran yang diindikasikan pemborosan, tidak memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.
DETIL
Judul | Catatan Merah Atas APBD NTB Tahun 2020 |
Peyusun | Tim Peneliti Fitra NTB |
Penerbit | Fitra NTB |
Tahun Terbit | 2019 |
Download | Bahasa Indonesia – 1 MB Versi bahasa Inggris tidak tersedia |