Total belanja pemda di NTB pada APBD Murni 2020 tercatat sekitar Rp22,4 triliun. Hingga semester I tahun 2020, realisasi belanja daerah di NTB mencapai 31,19 persen[1]. Capaian ini sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dengan rata-rata mencapai 31,49 persen. Sementara, target realisasi belanja rata-rata seluruh pemda pada semester I seharusnya terserap separuh dari total belanja daerah.
Serapan belanja Provinsi NTB dan Kota Mataram tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Bahkan, khusus Provinsi NTB tercatat sebagai provinsi dengan serapan belanja daerah terbaik untuk semester I 2020, di bawah DKI Jakarta. Sedangkan Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa mengalami peningkatan dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu, namun trennya masih di bawah rata-rata.
Lombok Utara dalam dua tahun terakhir ini justru tercatat sebagai daerah dengan serapan belanja paling rendah di NTB. Pada semester I tahun 2019 lalu, realisasinya sekitar 21,43 persen, dan pada tahun 2020 ini bahkan turun menjadi 20,22 persen. Capaian realisasi ini setara dengan pengeluaran belanja pegawai hingga semester I sejumlah Rp 162 miliar, atau 20,3 persen dari total belanja daerahnya yang mencapai Rp1 triliun.
Fakta-fakta ini menunjukkan, selama 6 bulan setiap tahun anggaran, ekskusi belanja pemerintah daerah sebagian besar terbatas pada belanja pegawai, belanja transfer, bantuan keuangan, serta belanja barang untuk penunjang operasional. Atau selama darurat Covid-19 ini sebagian besar berupa belanja pegawai dan belanja tidak terduga (BTT) untuk penanganan Covid-19. Belanja program pembangunan dan layanan sangat terbatas. Kajian Fitra NTB beberapa tahun lalu menemukan bahwa serapan belanja daerah cenderung meningkat di pertengahan tahun, dan menjelang akhir tahun anggaran (Oktober-Desember). Pada kuartal I, belanja daerah yang terserap umumnya masih sebatas belanja pegawai.
Rendahnya realisasi belanja daerah salah satunya dikontribusikan oleh realisasi DAK Fisik yang rendah. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) NTB mencatat, realisasi DAK Fisik di NTB hingga Juni 2020 hanya sekitar 9,2 persen atau Rp146 miliar[2]. Dengan demikian, DAK yang belum terserap masih sangat besar dari total dana transfer DAK Fisik di NTB tahun 2020 sebesar Rp1,58 triliun. Serapan DAK yang rendah setiap tahun menjadi catatan tersendiri dalam pelaksanaan anggaran di daerah sejauh ini. Padahal dukungan DAK berperan penting dalam percepatan penyediaan sarana dan fasilitas layanan sosial dasar, seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi dan infrastruktur dasar lainnya di daerah. Rata-rata DAK Fisik Kabupaten/kota setara dengan 38 persen belanja modal kabupaten/kota, bahkan DAK Fisik Provinsi NTB setara dengan 77 persen belanja modal tahun 2020.
Keterlambatan ekskusi belanja daerah tampaknya dipengaruhi oleh situasi pandemik. Terlebih lagi Kementerian Keuangan pada akhir Maret lalu menginstruksikan pemerintah daerah untuk menghentikan proses lelang paket pengadaan yang dibiayai DAK Fisik 2020, kecuali bidang kesehatan dan pendidikan. Di samping itu, penyesuaian dana transfer ke daerah yang terjadi dua kali dalam waktu yang berdekatan turut berimplikasi pada lambatnya ekskusi anggaran. Tapi, penghentian proses lelang, sebagaimana arahan Surat Menkeu Nomor S-247/MK.07/2020, seharusnya tidak menghambat serapan DAK Fisik. Sebab lebih dari 60 persen DAK Fisik diarahkan untuk membiayai bidang kesehatan dan pendidikan. Penyerapan DAK Fisik bidang kesehatan dan pendidikan seharusnya tetap dapat terlaksana tanpa hambatan selama penanganan Covid-19.
Tidak dipungkiri lagi, keterlambatan ekskusi belanja daerah di tengah tekanan ekonomi akibat pandemik Covid-19 tidak hanya berdampak pada kurang optimalnya daya ungkit belanja daerah dalam menjaga denyut ekonomi daerah yang terkontraksi. Di sisi lain, masyarakat juga dirugikan dengan terhambatnya penyediaan infrastruktur dasar dan layanan sosial dasar publik selama masa pandemik ini, misalnya layanan dasar kesehatan, ketahanan pangan, air bersih dan sanitasi. Bank Indonesia (BI) memprediksi kontraksi ekonomi NTB cukup dalam dan parah pada kuartal II 2020 hingga lebih dari -7 persen.
Konsumsi pemerintah menjadi jurus akhir yang akan sangat menentukan untuk stabilisasi, atau sekurang-kurangnya mengurangi dampak perlambatan ekonomi di tingkat lokal. Dampak pandemi Covid-19 telah memukul daya beli masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan miskin. Permintaan yang turun terhadap komoditas di pasar membuat sektor bisnis dan industri babak belur. Gelombang PHK dan pekerja yang dirumahkan terus bertambah, terutama di sektor informal dan jasa. Pengangguran dan angka kemiskinan dipastikan meningkat. Oleh karena itu, pada rapat terbatas dengan kepala daerah terkait percepatan penyerapan APBD pada 15 Juli lalu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada pemerintah daerah untuk segera membelanjakan Rp170 triliun dana pemda yang masih menganggur. Model padat karya tunai dalam pengelolaan belanja pembangunan infrastruktur harus digalakkan dan dipercepat. Melalui pola ini diharapkan akan tersedia lapangan kerja bagi rumah tangga miskin dan kelompok terdampak lain.
Para ekonom meyakini, pun pemerintah bahwa kuartal III ini menjadi pertaruhan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari ancaman resesi yang sudah ada di depan mata. Sebab, di saat konsumsi rumah tangga tertekan, investasi juga tertekan, instrument belanja pemerintah menjadi satu-satunya andalan. Akan sangat merugikan, jika daerah masih mengikuti tren serapan anggaran seperti pada situasi normal.[]
[1] Data ini tidak termasuk Kabupaten Bima dan Kota Bima. Data realisasi belanja daerah keduanya tidak tersedia.
[2] Lombok Post, 17 Juli 2020, Pemda di NTB Lelet Belanja Proyek, Uang Rp1,3 Triliun Dianggurin.