Pemerintah Provinsi NTB telah melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Namun masih menyisakan beberapa catatan, terutama berkaitan dengan arah kebijakan pengalokasian anggaran bidang kesehatan untuk penanganan Covid-19, ketahanan pangan, dan akses layanan sosial dasar untuk masyarakat miskin, perempuan serta anak-anak selama masa pandemi.
Sejalan dengan penyesuaian target pendapatan daerah, belanja daerah mengalami pergeseran signifikan. Nominal belanja daerah setelah penyesuaian menyusut sekitar 10,6% menjadi Rp5,1 triliun. Sebelumnya, belanja daerah direncanakan sebesar Rp5,7 triliun, yang dialokasikan 56% untuk belanja tidak langsung (BTL) dan 44% untuk belanja langsung.
Setelah penyesuaian, proporsi anggaran BTL meningkat menjadi 67% terhadap total nominal belanja daerah. Secara nominal alokasi BTL bertambah 8,5% menjadi Rp3,45 triliun. Peningkatan BTL dikontribusikan oleh peningkatan alokasi belanja tidak terduga (BTT) sebesar Rp427 miliar. sebelumnya, BTT pada APBD Murni 2020 hanya sebesar Rp7,5 miliar. Penambahan alokasi BTT ini merupakan hasil realokasi belanja daerah untuk penanganan Covid-19. Selain itu, terdapat penambahan alokasi belanja pegawai (gaji dan tunjangan) sekitar 0,3% atau sebesar Rp4,9 miliar[1].
Baca: Pandemi Covid-19 dan Turunnya Kapasitas Fiskal Daerah
Jenis belanja lain mengalami pemangkasan anggaran yang variatif. Belanja bantuan keuangan dihapus. Sebelumnya belanja bantuan keuangan dialokasikan senilai Rp12 miliar yang diperuntukkan untuk pemerintah desa. Alokasi belanja subsidi terpangkas 85%, dan tersisa Rp210 juta. Belanja hibah terkoreksi 10,8% menjadi Rp872 miliar. Sedangkan belanja bantuan sosial berkurang 2% atau sekitar Rp344 juta pada pos bansos untuk santunan petugas kebersihan. Alokasi belanja bagi hasil pajak untuk kabupaten/kota juga turut disesuaikan dengan besaran penurunan Rp42,3 miliar.
Pergeseran anggaran pada Kelompok Belanja Langsung sangat signifikan. Secara nominal, alokasi BL berkurang 34% menjadi Rp1,66 triliun. Penyusutan anggaran belanja modal tertinggi dibandingkan yang lain, dengan penurunan mencapai 45,5% menjadi Rp490 miliar. Sebelumnya belanja modal dialokasikan sebesar Rp900 miliar. Sementara itu, belanja barang dan jasa terpangkas lebih rendah sekitar 30,3%. Meskipun alokasi belanja barang dan jasa, serta belanja modal terpangkas lebih 30%, namun alokasi belanja pegawai untuk honor kegiatan hanya terkoreksi sekitar Rp11,2% dari alokasi sebelum penyesuaian.
Anggaran Infrastruktur Terpangkas Rp400 Miliar
Penyesuaian belanja langsung ini berdampak pada terbatasnya pembiayaan program prioritas daerah. Alokasi anggaran untuk infrastruktur paling terdampak dengan pemangkasan hingga 72% dari pagu anggaran sebelum penyesuaian. Alokasi anggaran Program pembangunan jalan dan jembatan berkurang Rp391,8 miliar dan tersisa Rp80,8 miliar. Lalu, alokasi anggaran program pembangunan irigasi terpangkas 69% menjadi Rp14 miliar. Selain itu, anggaran bantuan pembangunan rumah untuk masyarakat kurang mampu berkurang 76%, dari Rp31,9 miliar menjadi Rp7,6 miliar.
Anggaran pembangunan pariwisata dan ekonomi juga tidak luput dari penyesuaian dengan pemangkasan hingga 70%. Misalnya di Dinas Pariwisata, anggaran program pengembangan destinasi pariwisata terpangkas 81% menjadi Rp1,7 miliar. Sementara itu, anggaran pembangunan ketahanan pangan setelah penyesuaian sebesar Rp107 miliar atau menyusut 36%. Namun pemangkasan pada sektor ini tidak terlalu berdampak, karena pengalokasian BTT, terutama tahap II sebagian besar untuk sektor ekonomi dan pangan.
Namun, secara umum kelompok rentan seperti masyarakat miskin, disabilitas, perempuan dan masyarakat adat terpencil mendapatkan imbas dari refocusing anggarahan tahun ini. Pada urusan layanan dasar sosial, misalnya, alokasi anggaran program pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil dan PMKS Lainnya berkurang Rp5 miliar menjadi Rp10 miliar. Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan social juga mengalami pemangkasan sekitar 35% menjadi Rp9,7 miliar. Sementara itu, anggaran program pada urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak pun mengalami pemangkasan hingga 54%. Beberapa program/kegiatan yang anggarannya dipangkas antara lain; pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan berkurang 92% menjadi Rp7,7 juta, pendampingan korban kekerasan berkurang 92% menjadi Rp5,6 juta, upaya perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan berkurang 86% menjadi Rp 30 juta. Padahal, dalam situasi tekanan psikologis akibat pandemic ini, potensi kekerasan terhadap perempuan dan anak akan semakin meningkat.
Anggaran Beasiswa Masyarakat Miskin Berkurang Rp15 Miliar
Anggaran urusan pendidikan tidak terlalu terimbas, hanya berkurang 4% dari pagu sebelumnya. Alokasi anggaran program pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) justru bertambah menjadi Rp44,6 miliar; yang dialokasikan untuk pengadaan alat praktik dan peraga siswa senilai Rp2,4 miliar, rehabilitasi ruang kelas sejumlah Rp594 juta, rehabilitasi ruang guru sebesar Rp916 juta, rehabilitasi lab dan ruang praktikum sebesar Rp1,2 miliar, rehabilitasi perpustakaan sekolah sebesar Rp933 juta, dan kegiatan rehabilitasi sarana air bersih dan sanitasi senilai Rp291 juta.
Sementara itu, anggaran beasiswa sarjana hanya terpangkas 3,7% menjadi Rp38,3 miliar. Namun terjadi pergeseran anggaran peruntukannya. Belanja beasiswa untuk masyarakat miskin yang sebelumnya berjumlah Rp18,3 miliar berkurang 86% menjadi Rp2,6 miliar. Anggarannya dialihkan untuk beasiswa masyarakat berprestasi. Sebelumnya, pagu beasiswa untuk masyarakat berprestasi sebesar Rp18,3 miliar, lalu bertambah menjadi Rp34,1 miliar.
Tambahan Anggaran Kesehatan untuk Pembangunan Rumah Sakit
Alokasi anggaran bidang kesehatan menjadi satu-satunya yang mengalami peningkatan setelah penyesuaian. Anggaran bidang kesehatan bertambah 22% menjadi Rp499,7 miliar. Namun, nominal tersebut belum memenuhi batas minimal belanja wajib bidang kesehatan sebesar 10% dari belanja APBD. Anggaran kesehatan Provinsi NTB mencapai 9,8% setelah penyesuaian. Bahkan sebelum penyesuaian, anggaran kesehatan hanya 7,2%.
Pengalokasian anggaran kesehatan tampaknya belum sejalan dengan upaya pencegahan perluasan sebaran pandemic Covid-19. Sebab sebagian besar anggaran kesehatan dialokasikan untuk pembangunan rumah sakit dan alat kesehatan. Sebagian besar penambahan anggaran bidang kesehatan dialokasikan untuk Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan RSUD H.L. Manambai. Penambahan anggaran tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah sakit sebesar Rp60,9 miliar, pengadaan alkes rumah sakit, Rp13,8 miliar, Pengadaan alkes rumah sakit Manambai bertambah Rp13,5 miliar dan pelayanan administrasi perkantoran RSUD Manambai bertambah Rp2 miliar.
Di sisi lain, alokasi anggaran beberapa program prioritas bidang kesehatan dipangkas. Pos belanja bidang kesehatan yang terkena pemangkasan umumnya belanja program promotif dan dukungan untuk masyarakat miskin, seperti promosi kesehatan, dukungan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, dan bantuan jamban keluarga.
Tabel. Penyesuaian Alokasi Anggaran Bidang Kesehatan pada Dinas Kesehatan NTB Tahun 2020
No. | Program | Sebelum | Setelah | +/(-) |
1. | Obat dan Perbekalan Kesehatan | 4.814 | 4.677 | (2,8%) |
2. | Upaya Kesehatan Masyarakat | 2.717 | 666 | (75,5%) |
3. | Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat | 3.752 | 1.502 | (59,9%) |
4. | Perbaikan Gizi Masyarakat | 10.587 | 13.037 | 23,1% |
5. | Pengembangan Lingkungan Sehat | 328 | 585 | 78,3% |
6. | Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin | 34.294 | 32.640 | (4,8%) |
7. | Pengadaan, Peningkatan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit/RSJ/RS Paru-paru/RS Mata | 4.027 | 75.154 | 1.766,1% |
8. | Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak | 2.769 | 3.046 | 10,0% |
9. | Penyediaan Sarana dan Prasarana Sanitasi Dasar | 1.801 | 1.206 | (33,0%) |
10 | Pencegahan dan penanggulangan Penyakit Menular/Tidak Menular | 1.531 | 1.635 | 6,8% |
[1] Alokasi belanja pegawai Dinas Pertanian dan Perkebunan, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan masing-masing bertambah sebesar Rp 1,6 miliar dan Rp6,9 miliar. Sebaliknya, belanja pegawai Bapenda berupa insentif pemungutan pajak berkurang Rp3,6 miliar, sebagai implikasi penurunan target penerimaan pajak daerah.