Nelayan kecil di Pulau Lombok belum menikmati program bantuan subsidi BBM yang disalurkan pemerintah. Keterbatasan informasi dan minimnya stasiun pengisian BBM khusus nelayan (SPBN) menghambat para nelayan untuk menikmati bantuan tersebut. Mereka terpaksa berebut di SPBU atau membeli dengan harga tinggi di tingkat pengecer.
Senin (12/4) lalu, Pengurus Kesatuan Nelayanan Tradisional (KNTI) Lombok Timur dan Lombok Utara beserta tim FITRA NTB mendatangi Kantor Ombudsman Perwakilan NTB di Mataram untuk beraudiensi. Para perwakilan nelayan tersebut diterima oleh Asisten Pencegahan Mal-administrasi Ombudsman Perwakilan NTB Yudi Darmadi dan Asisten Penerimaan dan Verifikasi Laporan Ahmad Fahmi Raharja.
Berdasarkan hasil survey KNTI, komponen BBM merupakan pengeluaran terbesar nelayan tangkap. “Sekitar 70 persen pengeluaran nelayan untuk BBM,” kata Direktur FITRA NTB Ramli Ernanda. Keberhasilan menekan biaya komponen tersebut dapat mengurangi beban operasional, sekaligus mampu meningkatkan penghasilan bersih nelayan. Sehingga akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional. Kawasan pesisir sejauh ini masih menjadi salah satu kantong kemiskinan di Indonesia, termasuk di NTB.
Namun akses nelayan tradisional terhadap BBM bersubsidi sangat terbatas. Ketua KNTI Lombok Timur Dedi Sopian mengungkapkan, dari hasil survey yang dilaksanakan baru-baru ini di Lombok Timur, nelayan tradisional tidak mengetahui adanya program BBM bersubsidi dari pemerintah. Temuan yang sama di Lombok Utara.
Jumlah stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan (SPBN) hingga saat ini sangat terbatas. Di Kabupaten Lombok Timur hanya tersedia 3 SPBN, di Tanjung Luar, Labuhan Haji dan Labuhan Lombok. Sementara di Lombok Utara hanya terdapat 1 SPBN di Kecamatan Gangga, yang saat ini telah beralih status menjadi SPBUN. Seluruh SPBN dan SPBUN tersebut dikelola pihak swasta. “Di SPBUN ini lebih banyak diakses oleh umum. Hanya sekitar 5 persen saja yang dapat diakses kelompok nelayan,” ujar Tarsam, nelayan Dusun Luk, Desa Sambik Bangkol, Lombok Utara.
Di SPBU maupun SPBUN nelayan harus berebut dengan para pengecer yang memegang surat rekomendasi sebagai pengecer. Padahal dalam pengajuan pembangunan SPBU maupun izin usaha eceran bahan bakar, pengusaha menyertakan jumlah nelayan penerima manfaat sebagai syarat pengajuan izin. “Kami tidak tahu secara jelas seberapa banyak kouta BBM bersubsidi yang disalurkan untuk nelayan kecil di daerah,” tegas Ketua KNTI Lombok Utara Efendi.
Ditambah lagi, stok BBM di SPBN sering kali kosong. Kondisi ini menyebabkan nelayan tradisional memilih membeli BBM di pengecer dengan harga yang jauh lebih tinggi. Nelayan di Lombok Timur saat ini sulit mendapatkan BBM. Beberapa di antara mereka harus membeli hingga ke Lombok Tengah. “BBM jenis premium di pengecer sekarang menembus harga Rp 10 ribu per liter,” ungkap Dedi.
Nelayan juga mengeluhkan alur birokrasi untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Diketahui, nelayan harus memiliki kartu nelayan KUSUKA (Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan), pas kecil dan surat rekomendasi. Namun hingga kini, jumlah nelayan yang memiliki kartu identitas ini masih sangat sedikit. Padahal, KUSUKA merupakan kartu identitas tunggal bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan untuk mendapatkan beragam manfaat program pemerintah.
“Lokasi pengurusan syarat ini jauh dari domisili nelayan. Bahkan sebagian besar nelayan kecil beranggapan mereka akan dikenai pajak kalau terdaftar,” jelas anggota Dewan Pembina KNTI Lotim Junaedi. Pihaknya berharap Ombudsman dapat berperan dalam mendorong penyederhanaan regulasi untuk akses BBM bersubsidi bagi nelayan kecil.
Yudi menyambut baik kedatangan perwakilan nelayan ke Ombudsman sebagai wali warga. “Sepengetahuan kami, ini kali pertama kami menerima aduan dari kelompok nelayan,” jelasnya. Dalam kesempatan ini, mantan Koordinator SOMASI NTB ini akan mempelajari aduan terkait rendahnya akses BBM bersubsidi bagi nelayan kecil. Ombudsman berkomitmen untuk mendukung perbaikan tata kelola penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan.
Ombudsman menyarankan KNTI dan FITRA untuk segera melakukan dialog dengan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi serta Kabupaten, Pertamina, dan pengelola SPBN untuk menemukan persoalan dalam tata kelola BBM bersubsidi tersebut di daerah. Ombudsman berharap, KNTI menyusun laporan tertulis terkait persoalan tersebut, dan menyampaikan surat aduan ke pihak terkait dengan tembusan ke Ombudsman, agar pihaknya dapat mendalami dan memantau perkembangannya, sekaligus sebagai bahan menyusun rekomendasi untuk pihak-pihak terkait.
Program advokasi BBM bersubsidi bagi nelayan kecil ini dilaksanakan oleh Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan (KUSUKA), yang terdiri dari KNTI, Seknas FITRA, dan Perkumpulan Inisiatif, atas dukungan International Budget Partnership (IBP). Lokasi program ini tersebar di beberapa daerah; Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB.